Our Wedding Path ♥

Daisypath Anniversary tickers

Our Baby ♥

Lilypie First Birthday tickers

Friday, 16 July 2010

Part 1: Tidak ada satupun yang terjadi tanpa Allah mengijinkannya

Tahun 2003 saya memutuskan untuk Studi di Belanda melalui suatu program double degree. Untuk itu saya diminta persyaratan TOEFL minimal 550. Akan tetapi bagaimanapun kerasnya saya berlatih dan belajar, skor TOEFL saya tidak pernah melebihi 510. Sampai mendekati deadline terakhir untuk pengumpulan berkas-berkas ke Belanda skor TOEFL saya masih belum mecukupi. Saat itu banyak dari teman-teman dan saudara-saudara saya menganjurkan untuk membuat certifikat TOEFL palsu supaya bisa mencapai 550. Namun saya menolak karena saya percaya bahwa kalau memang ada dalam rencana Allah saya bisa ke Belanda, Allah sendiri yang akan buka jalan. Ternyata hal itu benar. Akhirnya saya diterima dan bisa ke Belanda terlepas dari pertimbangan TOEFL. Saya kemudian teringat akan doa yang pernah saya panjatkan sebelum mengirim aplikasi Studi ke Belanda. Saya berkata,”Apabila aplikasi saya diterima biarlah ini merupakan tanda dari Allah sendiri bahwa ada rencana Allah untuk saya bisa Studi di Belanda”.

Saya percaya bahwa tidak satupun hal yang terjadi tanpa Allah mengijinkannya. Apabila Allah kemudian menyatakan kehendakNya, maka Allah secara tidak langsung atau tidak langsung memberitahukan rencanaNya terhadap kita. Ini ada suatu contoh bahwa tidak ada satupun yang terjadi tanpa Allah mengijinkannya. Bahkan pada detik-detik terakhirpun “menunggu” Allah menyatakan kehendakNya, Dia tidak akan pernah terlambat.





Setelah saya dinyatakan diterima oleh pihak Belanda, saya harus mengurus visa Studi dari Indonesia. Pengurusan visa studi saya memang lain dari pada yang lain (lebih sukar dan rumit) karena aplikasi saya memang agak terlambat dikirim oleh karena masalah TOEFL. Pada bulan Juli 2003 saya mendengar kabar dari pihak sekolah di Belanda semua permintaan visa dari Indonesia ditunda 3 bulan minimal oleh Belanda karena ada pengeboman di Hotel JW Marriott yang menewaskan seorang warga Belanda. Padahal program studi di Belanda dimulai awal bulan September 2003. Pihak sekolah di belanda sendiri memberitahukan bahwa kalau saya belum bisa mendapatkan visa sampai pertengahan September 2003 maka saya harus membatalkan studi saya ke Belanda. Waktu cukup cepat berlalu sampai pada tanggal 1 September 2003. Saya menghubungi berkali-kali pihak sekolah di Belanda (karena yang menguruskan visa adalah melalui pihak sekolah di Belanda) namun jawaban mereka selalu: belum ada visa. Pada minggu awal bulan September adalah deadline terakhir untuk menyerahkan form mata kuliah yang akan ambil semester itu. Saat itu banyak teman-teman yang bertanya kapan berangkat ke Belanda, hampir setiap hari, dan itu membuat saya malu dan frustasi karena saya sudah pernah bilang kalau akan ke Belanda. Saya tidak mau terkesan bahwa saya memaksakan diri dan melupakan Tuhan. Karena banyak sekali teman-teman sepelayanan mengira saya “memaksa” Tuhan.

Namun saya harus mengatakan hal ini: tidak ada satu manusiapun yang bisa memaksakan kehendaknya kepada Tuhan. Dia yang pegang kontrol atas kehidupan ini. Kitalah (manusia) yang harus tunduk dan berjalan dalam rencanaNya.

Saya berkata kepada Tuhan waktu itu, “Saya malu Tuhan”. Saya juga harus segera mengisi form studi untuk semester itu, karena kalau tidak...maka saya tidak bisa kuliah (menganggur) semester itu. Akhirnya saya putuskan dengan iman bahwa saya bisa ke Belanda dengan pemikiran satu hal: kalau Tuhan sudah meluluskan nilai TOEFL yang hanya 510 untuk bisa ke Belanda, maka itu merupakan suatu tanda dimana Tuhan sudah buka jalan dan dia akan terus membuka jalan. Karena saya pernah berdoa kepada Tuhan bahwa kalau memang jalan saya bukan di Belanda, maka biarlah pihak sekolah di Belanda menolak aplikasi saya. Namun yang terjadi adalah lain, Tuhan buka jalan ke Belanda dan itu harusnya sudah lebih dari cukup. Disinilah iman harusnya berperan. Bahkan iman saya masih harus diuji lagi dengan hal-hal yang luar biasa.

Pada saat itu sudah hari Rabu (sudah di pertengahan bulan September) dan hari Senin depan saya harus sudah berada di Belanda. Pada hari itu juga saya masih belum terima visa (pagi hari). Hari Senin sebelumnya saya mendapat kabar dari pihak sekolah di Belanda bahwa visa saya sudah jadi dan sedang “on the way” ke Indonesia. Akan tetapi sampai hari Rabu saya belum mendengar apa-apa. Pada keesokan harinya (Kamis) akhirnya saya dan papa saya memutuskan untuk pergi ke konsulat Belanda di Surabaya untuk meminta bantuan mengecek status visa saya. Apa yang saya dapat adalah diluar dugaan. Salah satu pegawai di kantor konsulat Belanda Surabaya malah memarahi kami dengan alasan kami terlalu percaya dengan omongan orang Belanda. Bahkan pegawai itu mengatakan bahwa mengurus visa itu susah, bahkan orang dari Jakartapun datang ke Surabaya karena pengurusan visa dari Surabaya diklaim lebih mudah. Pegawai yang marah-marah dengan kami juga menge-klaim bahwa dia memiliki koneksi kuat dengan konsulat di Jakarta, sehingga apa yang dia putuskan dan omongkan sama dengan keputusan dari konsulat di Jakarta. Kami (saya dan papa) memang mengatakan ke pegawai yang tadi bahwa kami ingin ke Jakarta. Namun pegawai itu dengan yakin berkata, “Kalau kalian tidak percaya omongan saya, silakan sekarang ke Jakarta dan kalian akan kembali pulang dengan tangan hampa dan berkata bahwa saya benar”.

Kami sudah tidak mau mendengar pembicaraan dia lagi, kami sangat kecewa dengan sikap konsulat Belanda di Surabaya: sama sekali tidak membantu. Akhirnya kami tetap memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan setibanya di Jakarta kami mencoba untuk menghubungi NEC (Netherland Education Center) di Jakarta. Sebelumnya kami mendapat informasi bahwa kami bisa meminta bantuan tidak hanya lewat konsulat tetapi juga lewat NEC. Sesampainya kami di NEC Jakarta kami meminta bantuan seorang pegawai NEC yang cukup ramah dan baik untuk membantu kami. Tanpa kami duga, pegawai tersebut juga mempunya akses ke konsulat Belanda. Saya hanya berpikir bahwa hari Sabtu ini harus bisa berangkat apabila hari Senin depan harus sudah berada di Belanda dengan asumsi saya mendapat visa pada hari Jumat.

Hari itu (Kamis) kami masih di kantor NEC Jakarta menunggu status visa. Sementara pegawai yang ramah dan baik tadi masih terus mencoba menelepon untuk mendapatkan kejelasan status visa saya. Waktu saat itu menunjukkan pukul 14.50 dan saya diberitahu oleh pegawai tersebut bahwa konsulat Belanda di Jakarta untuk bagian visa buka hingga pukul 15.00 saja. Jadi kalau tidak ada jawaban dari konsulat Belanda di Jakarta hingga pukul 15.00, maka artinya tidak ada visa pada hari itu dan saya harus kembali minggu depannya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena saya harus berada di Belanda pada hari Senin depan. Ketika waktu menunjukkan pukul 15.05 saya dan papa kaget. Saya berasumsi bahwa saya tidak bisa lagi ke Belanda. Papa saya terlihat lemas karena sudah keluar uang untuk ke Jakarta tapi tidak ada hasil. Waktu menunjukkan pukul 15.30, mungkin karena pegawai yang baik dan ramah agak sedih melihat kami, pegawai yang baik dan ramah mencoba kembali telepon konsulat Belanda di Jakarta. Telepon di terima, dan pegawai tersebut menanyakan pertanyaan yang sama, “Apakah visa David Setiawan Nugroho, umur 21 tahun sudah ada”. Orang yang dihubungi oleh pihak NEC mungkin sempat emosi karena NEC terus menanyakan hal yang sama. Setelah dicek sekali lagi ternyata visa saya baru saja ada di data base dan bisa diambil keesokan harinya (Jumat). Begitu mendengar kabar itu, saya kemudian bangkit dari tempat duduk dan memberitahu papa bahwa visa sudah ada dan bisa diambil besok. Papa kemudian menjadi lega. Kesusahan dan jerih payah kami pada saat itu tiba-tiba hilang dan kami merasakan kelegaan yang luar biasa. Saya percaya bahwa Tuhan sudah berkerja secara luar biasa dalam perkara ini dan jalanNya bukanlah jalan kita. Segala pekerjaan baik yang sudah Allah lakukan akan disempurnakanNya. Akhirnya pada hari Jumat saya datang ke konsulat Belanda di Jakarta dan pada hari Sabtu saya terbang ke Belanda. Di tahun 2004 saya bias lulus dengan nilai memuaskan. (David)

0 comments:

Our Journey © 2008 Por *Templates para Você*